TANTANGAN PENDIDIKAN TINGGI KITA



Oleh: Rafnel Azhari S.P, Manajer Cabang Padang



Musim SNMPTN kembali menyapa dunia pendidikan tinggi kita. Pemberitaan terbaru menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat 132 ribu siswa SMA (kelas XII) mendaftarkan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan. Sedangkan jalur undangan sendiri hanyalah 40 persen dari total kursi yang disediakan melalui SNMPTN, dan total pendaftar SNMPTN secara nasional adalah 540.928.



Data kemendiknas juga menyebutkan bahwa sedikitnya ada dua juta pelajar sekolah menengah atas yang mengikuti Ujian Nasional beberapa waktu yang lalu. Fakta ini menunjukkan kepada kita semua betapa besarnya harapan anak bangsa ini utuk memasuki pendidikan tinggi, betapa mereka ingin mencoba menikmati bangku kuliah, dan lebih jauh dari itu tentunya mereka telah menggantungkan masa depannya pada dunia pendidikan tinggi kita.

Saya yakin sekarang banyak anak bangsa akan meresa lebih 'aman' jika meneruskan jenjang studinya di Perguruan Tinggi. Dan barang kali mereka benar Karena peluang pasar kerja yang semakin kompetitif dan gelar kesarjanaan menjadi 'daya beli' tersendiri daripada hanya sekedar ijazah sekolah.



Pendidikan tinggi telah menjadi magnet yang menarik banyak anak bangsa untuk mendekatinya, satu sisi itu adalah suatu hal yang baik, dan tentu juga baik bagi Negara karena kita perlu meningkatkan daya saing bangsa.

Namun tetap saja kita menyaksikan ironi pendidikan di negeri ini ketika BPS menerbitkan data terbarunya bahwa sebanyak 60,5% pemuda usia 16 tahun hingga 20 tahun di seluruh provinsi di Indonesia tidak memiliki pekerjaan tetap, atau pengangguran. Lalu pertanyaan yang menggelitik hati, ada apa dengan dunia pendidikan kita, khususnya di Pendidikan Tinggi ?



KOMPLEKSITAS MASALAH

Mencoba melihat dunia pendidikan kita maka kita akan dihadapkan pada kompleksitas permasalahan. Mulai dari kurangnya kesejahteraan tenaga pendidik, tidak meratanya mutu tenaga pendidik, fasilitas pendidikan yang terbatas, rendahnya kualitas pembelajaran, rendahnya transparansi dunia pendidikan, akses terhadap dunia pendidikan yang belum merata secara adil sampai pada rejim tutup telinga buka mulut, dan otoritas kampus yang 'didesak' oleh keterbatasan material dan peluang yuridis untuk melakukan kapitalisasi lembaga. Hal ini sedikit berbeda ketika orde lama berkuasa.



Soekarno pada tahun 1962 pernah memanggil organ mahasiswa FKIT dan CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) untuk berdiskusi atau lebih tepatnya berdebat terkait dengan sistem pendidikan yang mereka ributkan waktu itu. Alhasil materi perdebatan itulah yang menjadi landasan pijak kebijakan sistem pendidikan nasional selanjutnya. Saat ini, kita memiliki banyak staf khusus persiden (sebelas orang), akan tetapi kita akan kesulitan menemukan adanya staf khusus pendidikan. Staf khusus pendidikan menjadi tidak penting dibandingkan dengan staf khusus bidang komunikasi yang memoles kata-kata mutiara dan mengontrol citra presiden.



jika saja tersedia peluang untuk memberi nasihat pada Presiden dan kepada semua pejabat dilingkungan pendidikan di negri ini, maka satu-satunya nasihat yang bisa saya berikan adalah, "terbukalah dan ikhlas kan diri !" dunia pendiikan di negri ini tidak akan bisa dibangun tanpa adanya keterbukaan dan sikap yang ikhlas.



Selagi kita masih berpikir tentang keuntungan pribadi maka pada titik itulah kita telah memulai menciptakan keboborokan pada dunia pendidikan. Kita akan terus berpikir tentang komersialisasi pendidikan, kita akan berpikir tentang keuntungan kelompok kita dan pada akhirnya kita akan mempolitisasi dunia pendidikan. Yang terjadi pada akhirnya pengelolaan organisasi pendidikan tinggi menjadi tidak sehat lagi.

Alih-alih bersikap terbuka dan ikhlas terkait dengan format penyelenggaraan pendidikan tinggi, saat ini beberapa kampus 'membungkam' mahasiswa dengan struktur kebijakan yang menyerupai era NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) orde baru. UNY sebagai sebuah kampus besar di Jogja telah membekukan Badan Eksekutif Mahasiswa yang pada dasarnya menjadi jantung aktivisme mahasiswa.

Hal yang sama juga dilakukan oleh otoritas kampus di UTY (Universitas Teknologi Yogyakarta). Dan terakhir dilakukan di UGM dengan tidak membiayai—mengembalikan dana—lembaga BEM KM yang secara formal mewakili mahasiswa UGM, karena aktivitas 'melawan' kebijakan kampus beberapa waktu yang lalu.

Cara – cara represif dan jauh dari keterbukaan ini tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan, malah akan mengubur kretivitas, pengembangan diri dan dunia demokrasi di kampus. Lepas dari gerakan politik lembaga mahasiswa internal kampus yang ada, organisasi secara prinsipil, kulural, dan struktural adalah ruang yang mampu mengakselerasi kecerdasan sosial manusia (mahasiswa). Ketika lapangan kerja menginginkan lulusan yang mempunyai kapasitas afeksi, kampus justru mengeliminasi kebutuhan tersebut dan fokus pada ranah kognisi dan psikomotorik mahasiswa.



Percayalah, organisasi mahasiswa menjadi satu-satunya instrumen yang memungkinkan hadirnya hidden curriculum diluar struktur akademik perkuliahan. Instrumen yang mampu membangun kecerdasan sosial karena persinggungan karakter anak bangsa sehingga dia harus terus dipertahankan.

  

MARI BERCERMIN NASIONAL



Alangkah bijaknya, dalam rangka tata kelola yang lebih baik dan mewujudkan daya saing bangsa maka dunia pendidikan tinggi kita secara serempak melakukan " cermin diri", untuk meninjau segala kelemahan kedalam dan secara ikhlas merumuskan "best practice" bagi dunia pendidikan tinggi kita. Pendidikan tinggi harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan mahasiswa, sehingga mampu mengembangkan kapabilitas intelektual mahasiswa untuk menjadi warga negara yang bertanggungjawab, dan mampu berkontribusi pada daya saing bangsa.



Akhirnya, Satu yang sangat saya Syukuri, UU BHP telah tumbang, saya percaya dengan kebijaksanaan MK yang mampu melihat secara komprehensif hubungan dunia pendidikan dengan konstitusi kita. Lembaran perdebatan itu telah kita tutup, sekarang kita hanya perlu menatap kedepan,mengelola dunia pendikan tinggi kita karena harapan besar ditumpangkan padanya@



The best executive is the one who has sense enough to pick good men to do what he wants done, and self-restraint to keep from meddling with them while they do it.

Theodore Roosevelt



The leadership instinct you are born with is the backbone. You develop the funny bone and the wishbone that go with it.

Elaine Agather

0 Response to "TANTANGAN PENDIDIKAN TINGGI KITA"

Posting Komentar